Indonesia sekarang sedang berada di masa bonus demografi. Maksudnya? Ya, jumlah penduduk usia produktif (sekitar 15–64 tahun) kini lebih dari 70%, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Bayangkan, dari 100 orang Indonesia, 70 di antaranya bisa bekerja dan berkontribusi untuk negara.
Prof. Sri Moertiningsih mengatakan bahwa bonus demografi adalah “peluang emas yang hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa.” Meskipun demikian, ia mengingatkan bahwa tanpa strategi yang matang dari pemerintah, peluang ini bisa berubah menjadi beban. Hal ini dapat terjadi jika jumlah penduduk usia kerja terus meningkat, tetapi tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai, sehingga memicu peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan.
Walaupun jumlah orang yang bisa bekerja banyak, kenyataannya pengangguran masih tinggi. Per Februari 2024, ada lebih dari 7 juta orang yang belum memiliki pekerjaan, dan sebagian besar dari mereka adalah anak muda. Jadi, pertanyaannya: bonusnya di mana, kalau masih banyak yang menganggur?
Belum lagi soal kualitas. IPM (Indeks Pembangunan Manusia) kita memang naik menjadi 74,39 tapi itu belum cukup untuk bersaing di dunia kerja global. Masih banyak lulusan sekolah atau kuliah yang kesulitan mencari kerja karena keterampilan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
Setiap tahun, ribuan lulusan baru dari sekolah dan universitas memasuki dunia kerja. Sayangnya, lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Akibatnya, angka pengangguran di kalangan muda terus meningkat. Ini bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga sosial.
Banyak anak muda yang frustrasi karena sulitnya mencari kerja, yang kemudian mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif seperti radikalisme, narkoba, atau kriminalitas. Jika tidak dipersiapkan dengan baik, bonus demografi ini justru bisa menjadi bonus demonstrasi bagi pemerintah Indonesia.
Data menunjukkan bahwa situasi ini memicu berbagai masalah serius. Penyalahgunaan narkoba yang terus meningkat. Survei BNN pada tahun 2023 mencatat prevalensi pengguna narkoba mencapai 1,73%, atau sekitar 3,3 juta orang usia 15–64 tahun. Di sisi lain, kriminalitas juga naik. Pada semester I tahun 2025, tercatat 287.951 kasus kejahatan, meningkat 3,65% dibanding pada tahun sebelumnya.
Yang lebih mengkhawatirkan, radikalisme juga kian menyebar, terutama melalui media sosial. BNPT menemukan lebih dari 180.000 konten radikal dan terorisme sepanjang 2024. Sebagian besar menyasar remaja dan perempuan, kelompok yang seharusnya menjadi harapan masa depan bangsa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa di tengah bonus demografi, ketika jumlah penduduk usia produktif sangat besar, Indonesia menghadapi tantangan serius. Jika generasi muda tidak dibekali dengan pendidikan, keterampilan, dan nilai kebangsaan yang kuat, peluang besar ini bisa berubah menjadi masalah besar.
Maka dari itu, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk benar-benar meraih bonus demografi, jangan sampai justru bonus Demonstrasi yang didapat. Hilangkan ego sektoral diantara OPD agar semua bisa saling bekertja sama melengkapi, membantu, dan menutupi kekurangan satu sama lain.
Jadi, saya merasa bonus demografi bukan hanya soal angka usia produktif, tetapi sejauh mana kualitas pikir, literasi, dan kesadaran digital anak muda di Indonesia. Bukan cuma bisa pegang gadget, tapi bisa berpikir kritis dan tidak mudah dibohongi atau dibodohi.
Bonus demografi ini seperti pisau bermata dua. Kalau kita siap, Indonesia bisa menjadi negara besar. Tapi kalau lengah, kita hanya akan punya banyak orang, tanpa arah sehingga akan menimbulkan benih-benih konflik.
Penulis: Ridho Anugrah adalah aktivis yang aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Metro.
