Lemahnya hukum di Indonesia mengakibatkan banyaknya kriminalisasi hukum. Keadilan hukum di negeri yang terkoyak.
Miris melihat kondisi penegakan hukum di negeri tercinta ini yang ternodai oleh praktik kriminalisasi yang tidak berkeadilan. Maraknya kriminalisasi hukum di Indonesia mencerminkan betapa hukum seolah tidak lagi menjadi alat keadilan bagi seluruh rakyat, melainkan hanya berpihak kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh.
Kita kerap mendengar berbagai kasus ketidakadilan hukum di media sosial. Ironisnya, keadilan baru akan ditegakkan jika kasus tersebut lebih dahulu menjadi viral. Masyarakat kecil sering kali menjadi korban dari sistem hukum yang timpang, bahkan untuk perkara yang sepele dan tidak sebanding dengan hukuman yang dijatuhkan.
Salah satu contoh nyata adalah kasus Nenek Asyani. Ia dijerat hukum karena dituduh mencuri 7 batang kayu jati milik Perhutani di Situbondo, Jawa Timur. Nenek Asyani membantah tuduhan tersebut dan mengklaim bahwa kayu tersebut berasal dari lahannya sendiri, bahkan ukuran kayu miliknya berbeda dengan kayu milik Perhutani.
Namun, Pengadilan Negeri Situbondo tetap memvonis Nenek Asyani bersalah. Ia dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun tiga bulan serta denda sebesar Rp500 juta, subsider 1 hari kurungan.)
Apakah ini wujud keadilan hukum yang sesungguhnya?
Sangat memprihatinkan, hukum di negeri ini tampaknya tidak menyentuh semua kalangan secara adil. Seharusnya tidak ada satu pun warga negara yang kebal hukum, namun kenyataannya hukum terasa sangat tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Masyarakat kecil dijerat, sementara para pejabat yang jelas-jelas merugikan negara dan bekerja sama dengan pihak asing dibiarkan bebas, atau jika pun dihukum, hukumannya sangat ringan dan tidak sepadan dengan perbuatannya.
Inilah akibat minimnya hukum yang berkeadilan di Indonesia dan menyebabkan penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum. Hukum tidak lagi dijalankan secara adil. Aparat penegak hukum menyalahgunakan kekuasaan. Pasal-pasal digunakan tidak pada tempatnya. Contohnya seperti polisi atau jaksa menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa bukti yang cukup, hanya karena tekanan dari atasan atau pihak tertentu.
Aturan yang disalahgunakan seperti KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), khususnya Pasal 1 ayat (14) tentang penetapan tersangka, yang mengakibatkan orang yang tidak bersalah bisa dikriminalisasi karena proses hukum tidak dijalankan secara objektif.
Lembaga hukum pun seolah bungkam. Para pengamat hukum banyak yang memilih diam. Hukum kini tidak lagi ditegakkan demi keadilan, tetapi lebih menjadi alat untuk melayani kepentingan tertentu. Nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 dan Pancasila pun diabaikan.
Negara harus segera bertindak. Pemerintah wajib mengevaluasi regulasi-regulasi yang tidak berkeadilan dan berpotensi menjerat rakyat kecil. Sudah saatnya hukum di Indonesia ditegakkan secara adil, tanpa pandang bulu, dan benar-benar menjadi pelindung bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya bagi segelintir orang yang berkuasa.
Penulis: Asip Riadi adalah mahasiswa FISIP yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan, HMI Cabang Metro.
