Kecerdasan buatan (AI) kini tidak lagi sekadar teori, tetapi telah nyata memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, terutama dalam pendidikan dan dunia kerja. Di Indonesia, platform seperti Zenius dengan fitur ZenCore telah menggunakan sistem pembelajaran adaptif berbasis AI yang melayani lebih dari 20 juta pengguna. Ini memungkinkan siswa belajar sesuai dengan kemampuan masing-masing dan membantu guru dalam memantau perkembangan siswa secara efisien. Di beberapa sekolah menengah kejuruan (SMK), guru juga mulai menggunakan ChatGPT dan Canva AI untuk merancang materi dan soal, yang terbukti mampu meningkatkan minat serta hasil belajar siswa secara signifikan.
Namun, di balik manfaatnya, AI juga membawa dampak besar dalam sektor pekerjaan. Menurut laporan McKinsey tahun 2023, sekitar 23 juta pekerjaan di Indonesia berisiko tergantikan oleh otomatisasi hingga tahun 2030. Pekerjaan yang paling rentan adalah yang bersifat rutin dan administratif. Meski begitu, McKinsey juga mencatat bahwa Indonesia berpotensi menciptakan 27 hingga 46 juta pekerjaan baru di bidang digital dan teknologi, asalkan didukung dengan pelatihan serta pendidikan yang memadai. Ini menunjukkan bahwa AI bisa menjadi peluang besar, tetapi juga ancaman nyata jika tidak diantisipasi dengan bijak.
Oleh karena itu, penggunaan AI harus diarahkan untuk memperkuat peran manusia, bukan menggantikannya. Pemerintah telah mulai merancang kurikulum AI adaptif untuk sekolah dan melatih ratusan guru dalam integrasi AI di pembelajaran. Namun, tantangannya tidak hanya soal teknologi, melainkan juga soal etika, pemerataan akses, dan literasi digital. Tanpa kesadaran dan kebijakan yang tepat, AI justru bisa memperlebar kesenjangan. Maka, sudah saatnya kita memastikan bahwa kemajuan teknologi ini benar-benar berpihak pada manusia: mempercepat pembelajaran, memperluas peluang kerja, dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan.
Biodata penulis: Ira adalah mahasiswi UIN JUSILA yang hobi membaca puisi & traveling. Sekarang dengan bahagia menjalani aktivitas kuliahnya.
