Menentang LGBT Termasuk Pelanggaran HAM?




Penyimpangan seksual atau LGBT, bagi sebagian orang, dianggap sebagai pelanggaran moral yang harus diberantas layaknya hama. Namun, bagi sebagian lainnya, hal tersebut dipandang sebagai sesuatu yang wajar, karena orientasi seksual merupakan bagian dari identitas individu yang perlu dilindungi sebagai hak asasi manusia.

Faktanya, LGBT bukanlah suatu penyakit ataupun gangguan mental, karena individu dengan orientasi tersebut tetap dapat berpikir, bekerja, dan berfungsi sebagaimana layaknya inividu heteroseksual. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian WHO dari tahun 1950 hingga 1970-an, yang menyatakan bahwa individu biseksual tidak mengalami gangguan mental hanya karena orientasi seksualnya. Atas dasar itulah, pada tahun 1990, WHO secara resmi menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan mental dalam International Classification of Diseases (ICD). Keputusan ini diambil karena tidak ditemukan bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa LGBT memiliki kelainan medis ataupun penyakit pada otak. Dari sudut pandang hak asasi manusia, menjadi LGBT bukanlah suatu kejahatan ataupun penyakit. Oleh karena itu, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menindas seseorang. Pandangan ini dikuatkan oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), khususnya pada Pasal 1 dan Pasal 2. Lantas, apakah wajar jika masyarakat melarang keberadaan LGBT di tengah-tengah kehidupan sosial?. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi budaya dan agama, larangan tersebut dinilai wajar. Dalam perspektif sosial budaya, homoseksualitas dianggap sebagai penyimpangan terhadap norma yang masih sangat tabu. Jika ditinjau dari norma agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, larangan ini menjadi semakin jelas. Hal tersebut dikuatkan oleh sila pertama Pancasila. Meski demikian, jika disandingkan dengan sila kelima, terdapat potensi pertentangan dalam penerapannya.

Walaupun perdebatan mengenai hal ini sulit untuk disimpulkan secara tuntas, setidaknya diskriminasi dan penindasan terhadap kelompok minoritas seksual seharusnya dihapuskan, bukan justru diperparah dengan peraturan daerah yang cenderung diskriminatif. Sebagai contoh, kebijakan yang diterbitkan di Kabupaten Garut menunjukkan kecenderungan seperti itu. Padahal, individu LGBT bukanlah orang jahat, bukan orang yang tidak berakal, dan mereka tetap manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti manusia lainnya.


Penulis: Ajie Pamelan, mahasiswa yang aktif dalam organisasi mahasiswa islam, HMI. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama